GOR Trilomba
Juang, Mugas, merupakan salah satu monumen prestasi olah raga Jawa Tengah. Ia
dibangun untuk mengenang kejayaan provinsi ini dalam perhelatan trilomba juang
tingkat nasional tahun 1985. Saat itu, tim Jateng menjadi juara umum dan
membawa pulang piala bergilir Presiden Soeharto. Atas prakarsa Gubernur
Soepardjo Roestam, hadiah uang tunai sebesar Rp 50 juta yang didapat kemudian
digunakan untuk merenovasi Lapangan Mugas. Tentu saja, uang sebesar itu tidak
cukup.
Kekurangannya ditutup oleh dana APBD Provinsi Jateng. Trilomba Juang kemudian dipakai sebagai nama baru gelanggang olahraga milik warga Kota Semarang itu. Kompleks yang semula hanya berupa lapangan sepak bola dan enam lapangan tenis itu, dikembangkan menjadi gelanggang olahraga terpadu.
Lapangan bola dilengkapi dengan bangunan tribun dan lintasan atletik. Demikian pula lapangan tenis. Selain itu, fasilitasnya ditambah dengan gedung bulu tangkis, serta kompleks pertokoan dan perkantoran. Dirunut ke belakang, GOR Trilomba Juang bermula dari lapangan milik Raja Gula Oei Tiong Ham. Warga Semarang menyebut lapangan itu dengan nama Lapangan Sentiling.
Sentiling merupakan verbastering dari nama pasar malam internasional pada tahun 1914, yakni Koloniale Tentoonsteling. Pasar malam yang berlangsung dari tanggal 20 Agustus hingga 22 November itu, digelar di area seluas 26 hektare membentang dari daerah Randusari hingga kaki perbukitan Candi. Tanah tersebut kepunyaan Raja Gula Oei Tiong Ham.
Kesulitan dalam pengucapan Koloniale Tentoonstelling, warga bumi putera menyebutnya dengan sentiling. Bertahun-tahun kemudian, ingatan akan pasar malam yang diikuti sejumlah negara Asia dan Eropa itu, masih melekat di benak masyarakat. Mereka menyebut daerah bekas perhelatan akbar itu dengan nama Sentiling. Nah, dari situlah kompleks lapangan olahraga yang terletak di sebelah barat gedung Hogere Burger School (HBS) tersebut dinamakan Sentiling.
Tergolong Bagus Menurut Kabid Pembinaan Pengcab Pelti Kota Semarang, H Achmad Muthowal, kondisi lapangan tenis Sentiling pada tahun 1930-an tergolong bagus. Lapangan itu kerap dipakai untuk pertandingan antarklub, termasuk turnamen yang diprakarsai Indonesia Moeda dan Bapak Tenis Indonesia Dr Hoerip pada Desember 1935. Bersamaan dengan turnamen itu, dicetuskan lahirnya Persatoean Lawn Tennis Indonesia (Pelti).
Masa Pendudukan Jepang membuat kondisi Lapangan Sentiling terbengkelai. Kondisi itu terus berlanjut sampai masa kemerdekaan. Ny Atmo Rejo (69), penjual sate di kompleks Trilomba Juang menuturkan, kondisi Lapangan Sentiling pada tahun 1970-an kurang terawat. “Dulu, lapangannya belum diuruk, masih banyak alang-alangnya. Di lapangan itu, ada jalan setapak yang tembus di sekolahan STM (maksudnya SMKN 4-Red). Di sekitar lapangan ada 11 rumah milik warga, termasuk rumah saya,” kata Ny Atmo.
Atmo Timin, suami dari Ny Atmo Rejo bertugas sebagai tukang bersih-bersih di kompleks itu. Dia mendapat upah dari Pemerintah Kota Praja Rp 1.000/bulan. Pada saat GOR Trilomba Juang dibangun, warga diminta pindah ke tempat lain.
“Saya dan suami yang menanam pohon jati dan cemara di sekitar lapangan. Sebagian pohon sudah ditebang, tapi sisanya masih ada sampai sekarang.” (Rukardi-56) (http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2008/05/07/12368)
Kekurangannya ditutup oleh dana APBD Provinsi Jateng. Trilomba Juang kemudian dipakai sebagai nama baru gelanggang olahraga milik warga Kota Semarang itu. Kompleks yang semula hanya berupa lapangan sepak bola dan enam lapangan tenis itu, dikembangkan menjadi gelanggang olahraga terpadu.
Lapangan bola dilengkapi dengan bangunan tribun dan lintasan atletik. Demikian pula lapangan tenis. Selain itu, fasilitasnya ditambah dengan gedung bulu tangkis, serta kompleks pertokoan dan perkantoran. Dirunut ke belakang, GOR Trilomba Juang bermula dari lapangan milik Raja Gula Oei Tiong Ham. Warga Semarang menyebut lapangan itu dengan nama Lapangan Sentiling.
Sentiling merupakan verbastering dari nama pasar malam internasional pada tahun 1914, yakni Koloniale Tentoonsteling. Pasar malam yang berlangsung dari tanggal 20 Agustus hingga 22 November itu, digelar di area seluas 26 hektare membentang dari daerah Randusari hingga kaki perbukitan Candi. Tanah tersebut kepunyaan Raja Gula Oei Tiong Ham.
Kesulitan dalam pengucapan Koloniale Tentoonstelling, warga bumi putera menyebutnya dengan sentiling. Bertahun-tahun kemudian, ingatan akan pasar malam yang diikuti sejumlah negara Asia dan Eropa itu, masih melekat di benak masyarakat. Mereka menyebut daerah bekas perhelatan akbar itu dengan nama Sentiling. Nah, dari situlah kompleks lapangan olahraga yang terletak di sebelah barat gedung Hogere Burger School (HBS) tersebut dinamakan Sentiling.
Tergolong Bagus Menurut Kabid Pembinaan Pengcab Pelti Kota Semarang, H Achmad Muthowal, kondisi lapangan tenis Sentiling pada tahun 1930-an tergolong bagus. Lapangan itu kerap dipakai untuk pertandingan antarklub, termasuk turnamen yang diprakarsai Indonesia Moeda dan Bapak Tenis Indonesia Dr Hoerip pada Desember 1935. Bersamaan dengan turnamen itu, dicetuskan lahirnya Persatoean Lawn Tennis Indonesia (Pelti).
Masa Pendudukan Jepang membuat kondisi Lapangan Sentiling terbengkelai. Kondisi itu terus berlanjut sampai masa kemerdekaan. Ny Atmo Rejo (69), penjual sate di kompleks Trilomba Juang menuturkan, kondisi Lapangan Sentiling pada tahun 1970-an kurang terawat. “Dulu, lapangannya belum diuruk, masih banyak alang-alangnya. Di lapangan itu, ada jalan setapak yang tembus di sekolahan STM (maksudnya SMKN 4-Red). Di sekitar lapangan ada 11 rumah milik warga, termasuk rumah saya,” kata Ny Atmo.
Atmo Timin, suami dari Ny Atmo Rejo bertugas sebagai tukang bersih-bersih di kompleks itu. Dia mendapat upah dari Pemerintah Kota Praja Rp 1.000/bulan. Pada saat GOR Trilomba Juang dibangun, warga diminta pindah ke tempat lain.
“Saya dan suami yang menanam pohon jati dan cemara di sekitar lapangan. Sebagian pohon sudah ditebang, tapi sisanya masih ada sampai sekarang.” (Rukardi-56) (http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2008/05/07/12368)
0 komentar:
Posting Komentar